-
A PLUR -
(Peace,
Love, Unity, and Respect), sebuah Harapan
Oleh: Asep Rizky
Padhilah
Pagi
ini terasa ada suatu hal yang berbeda. Mulai dari kamar tidurku yang segalanya tertata
rapih, baju-baju yang tersusun didalam lemari, buku-buku yang berbaris rapih di
rak, dan saat ku buka jendela kamar terasa udara yang lain dari biasanya yang
sengaja atau tidak terhirup hingga masuk kedalam paru-paru dan jantung,
menyebar keseluruh tubuh melalui peredaran darah – sejuk. Kamarku ibarat “surga” yang sempurna pada pagi ini yang
memberikan energi positif dan membiaskan mimpi burukku semalam.
Aku
keluar menuju ruang keluarga, mamah dan papah pun tak seperti biasanya. Mereka
duduk berdampingan di meja makan sembari menyapaku dengan segelas teh susu
hangat dan telor setengah matang. Mereka begitu romantis dimeja makan, saling
suap-menyuapi seperti jaman pacarannya mereka dulu, atau biasa kita sebut “cinta monyet”. Setelah kuhabiskan
sarapan itu dengan lahap ku pamit dengan mencium tangan mamah dan papah untuk
menuju sekolah, menuntut ilmu mencari bekal masa depan. Rumahku terasa berbeda,
sangat damai dari sebelumnya.
Sekolahku
sangat jauh, perlu memakan waktu hingga satu seperempat jam perjalanan untuk
sampai di depan gerbang sekolah. Hari ini, dalam perjalanan banyak suasana
berbeda. Banyak pegawai karyawan berangkat kerja dengan berjalan kaki, saling
bergandengan tangan satu sama lain, saling berbagi senyum. Supir angkot
berhenti mendadak ditengah jalan untuk membatu nenek tua menyebrang jalan.
Guru-guru begitu bersemangat berangkat ke sekolah untuk berbagi ilmu
pengetahuan pada murid-muridnya. Anak-anak jalanan yang tak sekolah bernyanyi
riang dipinggir jalan, menghibur anak-anak muda yang sedang galau. Sepasang
manusia muda sedang berjalan mesra, kakek dan nenek sedang bergurau ria di
kursi taman. Para pengguna jalan berjalan dengan tertib dan disiplin, mereka
serentak berhenti ketika lampu merah. Polisi berdiri tegak ditengah jalan
sembari menerbar senyum ramah. Tak ada kemacetan, asap polusi, kecelakaan,
tawuran – damai. Hingga tak terasa diriku sudah sampai depan gerbang sekolah,
perjalanan yang lebih cepat dari sebelumnya. Hari ini benar-benar sangat
berbeda, entah apa yang membuat bumiku menjadi damai seperti ini. Namun aku
benar-benar sangat senang sekali. Nampaknya perjuangan Eric Weil untuk mencapai
perdamaian/hidup damai kini telah terwujud.
Disekolahku, teman-teman bermain dengan riang dihalaman sekolah, tak ada yang sedih, tak ada yang galau. Diperpustakaan teman-temanku yang lain begitu khusyuk membaca buku, tak ada suara bel yang mengganggu mereka. Ditaman sana antara adik kelas dengan kakak kelas saling berdiskusi ria, mereka yang berasal dari berbagai suku, agama, ras, dan golongan yang berbeda kini sedang asik bercanda ria. Bapak dan ibu guru mengajar dengan sepenuh hati, mereka saling berbagi dengan muridnya, mereka membebaskan muridnya untuk mempelajari apa saja yang mereka sukai. Ada yang belajar komputer, ada yang belajar membongkar mesin, ada yang sedang bereksperimen mengenai teori Darwin, dan banyak siswa-siswi yang belajar menurut kenginannya masing-masing. Kepala sekolah mengumumkan dengan pengeras suara “Tak ada ujian sekolah!!! semuanya dijamin kelulusannya. Silahkan belajar menurut minat dan bakat kalian masing-masing”. Siswa-siswi berteriang girang mendengarkannya, semuanya bersemagat mempelajari dan menekuti minat dan bakatnya masing-masing. Mungkin Paulo Freire sedang bersenyum senang mendengar kabar baik ini, karena pendidikan yang membebaskan kini tersebarluaskan disekolah-sekolah, menghilangkan pendidikan yang berkonsep “gaya bank” yang hanya sekedar mentransfer ilmu tanpa memandang latar belakang minat dan bakat siswa-siswinya. Proses pembelajaran begitu menyenangkan sehingga tak terasa hari mulai sore, persekolahanpun dibubarkan dengan tiap-tiap guru berbaris sembari mengucapkan “semoga hari ini menyenangkan dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih menyenangkan”, “katakan pada orangtuamu bahwa kaliah senang bisa bersekolah”. Dan anak-anakpun meninggalkan sekolah dengan gembira karena telah mendapatkan ilmu yang tak terdapat dari sekolah. Teman-teman pulang dengan bergandengan tangan, ada yang berboncengan mesra dengan pacarnya, ada yang pulang berbarengan satu angkot dengan sahabat-sahabatnya, tak ada yang pulang sendiri.
Dalam perjalanan pulang aku kembali menemukan hal yang menarik, pengusaha kaya mengajak pemuda yang kelaparan untuk makan bersama di restoran mewah, tukang kredit sadis melunaskan seluruh hutang-hutang janda miskin yang malang, disudut kota pemuka agama yang berbeda saling bercakap-cakap ria, berdiskusi untuk mewujudkan perdamaian antar umat beragama. Pejabat-pejabat terjun ke perumahan kumuh merealisasikan tigas-tugasnya. Politisi menampung semua aspirasi masyarakat tanpa ada kepentingan kelompok sedikitpun. Yang tua menyayangi yang muda, dan yang muda menghormati yang tua. Seluruh berbagai elemen menyatu menjadi suatu kesatuan yang menjunjung tinggi perdamaian, cinta, kasih dan rasa hormat. Tak ada klaim kebenaran, semuanya saling menghormati, menyayangi, member, dan menghargai satu sama lain. Tua, muda, hitam, putih, keras, pelan, Islam, Kristen, Budha, Hindu, Tionghoa, besar, kecil, laki-laki, perempuan, duda, janda, single, lesbi, homo semuanya menjadi satu kesatuan yang bisa disebut a plur (peace, love, unity, and respect). Tak ada paksaan, benar menurut Simply Love: “Cinta itu bukan memaksakan kehendak, apalagi tanpa kompromi.. Cinta itu hakikatnya memberi dan menerima”
Petangpun tiba, setiap umat yang berkeyakinan bebas melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing, tak ada yang menghalangi hubungan vertikal antara hamba dengan Tuhannya. Mereka beribadah dengan penuh rasa aman dan nyaman. Semua orang mentaati undang-undang tentang kebebasan beragama.
Kini manusia semua berpikir untuk merubah dunia dan dirinya – untuk menjadi lebih baik. Mungkin kutipan Leo Tolstoy, sastrawan besar Rusia telah terpatahkan, yang menganggap bahwa “Setiap orang berpikir untuk mengubah dunia, tapi tak ada seorangpun yang berpikir untuk merubah dirinya sendiri”
Tampaknya hari ini akan menjadi hari yang sempurna, hari yang tiap-tiap jamnya dilalui dengan perdamaian disekeliling kota, yang tiap-tiap menitnya manusia menebar benih-benih cinta, kasih dan sayang kepada manusia yang lainnya, tiap-tiap detiknya selalu mendahulukan rasa hormat diatas rasa kebencian, tanpa melihat suku, ras, agama, dan golongan manapun. Hari ini adalah hari yang sempurna untukku. Mulai dari pagi, siang, sore, dan malam. Mulai dari rumah, jalanan, sekolah, jalanan, hingga rumah lagi. Aku lihat diberbagai media – cetak dan elektronik, semuanya menayangkan berita-berita yang menyenangkan. Dikota tetangga majikan memberikan gaji dua ratus persen kepada pembantunya, dan ia dibebaskan menggunakan semua barang-barang yang sang majikan miliki. Di desa sebelah akan dibangun sekolah-sekolah gratis dan tempat ibadah berkat bantuan pegusaha-pengusaha, para pemilik modal itu berkata “Aku tidak akan membuat mall, atau minimarket ataupun supermarket, namun akan ku bangun sekolah-sekolah gratis untuk anak-anak desa, dan juga tempat peribadahan, demi terwujudnya generasi penerus bangsa yang cerdas, berkwalitas, dan mempunya moralitas”. Tak ada lagi berita pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, pelecehan, penjualan anak, dan semua berita yang sifatnya menyedihkan.
Namun, terpikir sejenak dalam hatiku, ada apa ini sebenarnya? Tiba-tiba semuanya gelap. “Sedang berada dimana aku? Semuanya tak terlihat”. Gelisah, resah. Sedikit demi sedikit terpancar cahaya, pelan perlahan ibarat matahari terbit dari timur menggantikan sang rembulan. Semakin terang. Ternyata aku sedang berada ditempat tidurku. Jam dinding berputar menuju pukul setengah enam pagi. “Ohh My God”, ternyata aku baru saja bermimpi. Semua kembali seperti biasanya, kamarku seperti pesawat ulak-alik sehabis menabrak tebing tebal – hancur berantakan. Baju seragamku berserakan dimana-mana, buku-bukuku bertumpukan tak jelas.
Setengah jam lagi bel sekolah berbunyi, tanda proses belajar mengajar dimulai. Aku bergegas ke ruang keluarga berniat untuk membawa bekal sarapan dan disantap diperjalanan karena mengejar waktu untuk sampai ke sekolah. Namun dimeja makan tak ada apa-apa, mamah dan papah tetap sibuk pada pekerjaannya, jam lima pagi berangkat ke kantornya masing-masing dan pulang jam satu malam, begitu seterusnya, jarang sekali libur dan jarang sekali bertemu dengan anaknya – aku, walaupun kami tinggal dalam satu rumah. Ya sudahlah..
Perjalanan menuju sekolah begitu sangat amat lama, tak seperti biasanya. “Kenapa bisa seperti ini? waktu kadang berjalan cepat, dan tak jarang berjalan begitu lambat sepeti saat ini. Apa itu waktu? Apakah waktu yang mengejar kita, atau kita yang menjar waktu? Huft..” diperjalanan semua pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa berangkat untuk mengejar kepentinganya masing-masing. Banyak dari mereka pergi dengan kendaraan pribadi, jalanan penuh sesak, asap polusi kini menggumpal di awan ibarat kabut tebal dipegunungan. Ditambah lagi dengan angkot-angkot yang berkeliaran semaunya, tak jarang mereka berhenti tepat dibawah symbol “S” dicoret. Sepasang manusia tua sedang kesulitan menyebrang. Polisi sedang duduk santai didalam pos sembari “menyeruput” segelas teh hangat. Anak-anak jalanan masih belum terbangun dari tidurnya karena dari kemarin belum mendapatkan sesuap nasi untuk bertahan hidup. Sepasang anak muda sedng bercekcok karena ketahuan selingkuh. Guru-guru berangkat menuju sekolah begitu bersemangat untuk mencari keuntungan, menipu murid-muridnya dengan iming-iming nilai-nilai palsu yang indah. Jalanan macet. Tak terasa jam sudah setengah delapan. Sekolah didepan sekolahku diserang oleh anak-anak sekolah yang berbeda almamater. Bringas, kaca sekolah pecah, berdarah, perpustakaan dibakar. Tak ada lagi kemanusiaan.
Aku segera berlari masuk menuju gerbang sekolahku. Ternyata didepan pintu masuk sudah menunggu patung selamat datang yang bisa bergerak, seperti anjing kelaparan – ganas. Karena keterlambatanku aku harus membersihkan seluruh WC guru dan halaman sekolah. Hampir setiap hari ilmu yang kudapat disekolah hanyalah seperti ini, cuih.. pendidikan brengsek.. “teng..teng.teng….” tanda jam kedua sudah selesai, waktunya istirahat. Kini aku diperbolehkan masuk kelas, dua jam pelajaran hilang digantikan dengan membersihkan ruangan-ruangan kepentingan guru-guru karena keterlambatanku yang hanya setengah jam. Ini tidak adil !!!. yang lebih anehnya lagi, teman-temanku yang sehati denganku karena terlambat juga malah dengan gembira mereka berkata “biarlah bersih-bersih nih WC, yang penting ga ikut belajar mata pelajaran Bapak Tarno, si killer”
Istirahat, aku memutuskan untuk diam dikelas. Dikelasku, semuanya seperti alien, makhluk asing yang saling mengasingkan dirinya masing-masing. Disudut kelas beberapa teman laki-laki sedang merasakan indahnya terbang mengelilingi dunia, efek dari ‘over dosis’ pil yang memabukkan. Teman-teman laki-laki yang lain sedang serius menghitung angka-angka yang ada didalam kertas: teliti, jeli untuk mendapatkan keuntungan berlimpah – judi. Namun tak pernah serius ketika mengerjakan soal ulangan matematika. Sutejo tak pernah ‘kapok’ mengikuti permainan haram namun harum itu. kemarin ia sudah menjual handphone blackberry terbarunya, hanya untuk ikutan judi dalam kelas. Di meja guru, sepasang manusia sedang bercumbu rayu, sangat mesra. Berpegangan tangan, saling membelai, tak jarang sesekali mereka saling bertempel bibir. Tak ada malu walau ditonton beberapa teman yang sedang memerhatikannya. Kini, aku sendiri duduk ditengah-tengah ruangan kelas sembari mendengarkan lagu Bondan Prakoso & Fade2Black. Sekolah membosankan.
Jam
14.00. sudah saatnya jam pulang sekolah, pintu gerbang dibuka. Ibarat
terbukanya pintu kebebasan bagi ratusan narapidana, hahahahaha….
Aku lebih memutuskan untuk langsung menuju rumah, dunia sudah kacau. Lingkaran setan yag tak akan berhenti, terus menerus seperti ini, mungkin lingkaran tersebut akan lebih besar dan besar. Yah mungkin semua orang sangat merindukan hidup damai.
Peace, Love, Unity, and Respect….utopiakah?
Asep Rizky Padhilah,
Cirebon, 23 Januari 2014
Komentar
Posting Komentar