Langsung ke konten utama

BENARKAH ISLAM MELARANG PEREMPUAN MENJADI PEMIMPIN ?




BENARKAH ISLAM MELARANG PEREMPUAN MENJADI PEMIMPIN ?*

Oleh : Asep Rizky Padhilah


Fenomena diskriminasi terhadap perempuan di dunia Muslim merupakan implikasi langsung dari pemahaman teks-teks skriptural. Diskriminasi gender bukan semata-mata persoalan sosiologis, namun telah menjadi bagian dari persoalan teologis. Perempuan sebagai posisi kelas dua dibawah laki-laki, baik pada dataran domestik maupun publik, merupakan implikasi logis dari interpretasi terhadap sumber-sumber teologi Islam.

Pandangan tersebut didukung dengan beberapa penafsiran dalam kitab-kitab tafsir dan hadist-hadist Nabi yang bernuansa kebencian terhadap perempuan. Hadist-hadist ini biasa disebut dengan hadis Misogini.

Disini penulis akan mengungkapkan hadist yang dianggap bentuk patriarkalisme relasi laki-laki dan perempuan. Hadis-hadis patriarkal dianggap sebagai fundamental idea munculnya dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Hadis tentang Larangan Perempuan Menjadi Pemimpin
Hadis ini terdapat dalam kitab Sahih Bukhari. Sebagai i’itibar hadis, diriwayatkan pula dalam Sunan at-Turmuzi dan Sunan an-Nasa’i. Secara lengkap teks hadis dalam kitab Sahih Bukhari tertulis sebagai berikut :
حد ثنا عثما ن بن الهيتم حد ثنا عو ف عن الحسن عن ابى بكر ة قا ل لقد نفعنى الله بكلمة ايا م الجمل لما بلغ النبي صلى ا لهم عليه و سلم ا ن فا ر سا ملكو ا بنة  كسر ى قا  ل لن يفلح قو م و لو ا ا مر هم امرا ة
“Telah bercerita kepada kami Ustman bin al-Haitsan, telah bercerita kepada kami ‘Auf dari al-Hasan dari Abu Barkah berkata : “Sungguh Allah memberi manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat pada hari (perang) Jamal. Tatkala Nabi mendengar orang-orang Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai pemimpin, maka beliau bersabda : “Tidaklah sekali-kali suatu kaum memperoleh kemakmuran, apabila menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (H.R. Bukhari)

Hadis ini dipegangi oleh kaum tradisionalis sebagai argumen untuk melarang perempuan berkiprah di dunia politik dan publik. Secara tekstual hadis ini memang menginyaratkan pelarangan Rasulullah terhadap kepemimpinan perempuan. Namun, pendekatan tekstual untuk memahami hadis ini bukan merupakan pembacaan yang objektif. Pada gilirannya, ideal moral hadis tidak disampaikan dan secara praktis merugikan hak-hak kemanuisaan perempuan apalagi ditambah dengan Ayat Suci Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Q.S An-Nisa : 34)

Untuk memahami hadis diatas tadi,  diperlukan pemahaan historis dan kontekstual. Hadis diatas tadi memang dikategorikan hadis shahih tetapi mempunya latarbelakang sejarah tersendiri (sabab wurud) sehingga tidak bisa serta merta langsung digunakan sebagai dalil umum.[1]

Menurut Fatima Mernissi, hadis ini merupakan hadis historis. Maksud hadis historis adalah hadis yang memiliki asbab al-wurud atau didahului dengan adanya peristiwa yang unik. Hadis historis harus dipahami secara historis pula.[2] Sebab, hadis historis selalu memiliki makna dalam konteks historisnya. Untuk memahami kaonteks hadis tersebut kita dapat mulai melalui penelusuran jalur persinggungan antara awal rawi dengan matan hadis. Dalam silsilah atau rangkaian sanad hadis diperoleh informasi bahwa hadis ini berasal dari satu sandaran. Dengan kata lain hadis ini termasuk hadis ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mencapai batas-batas hadis mutawatir. Validitas hadis ahad berbeda dengan hadis mutawatir yang sudah pasti sahih. Hadis ahad masih membutuhkan pembuktian atau kritik hadis sampai diperoleh kesimpulan apakah sahih (valid) atau d’aif (lemah).

Hadis ini pada tingkat sahabat disandarkan kepada sahabat Abu Barkah, salah seorang mantan budak yang dihadapkan oleh suatu kondisi sulit, ia harus memilih antara mendukung Ali, Khalifah ke empat, suami Fatimah anak kesayangan Nabi, atau mendukung A’isyah, istri kesayangan Nabi, putrid Abu Bakar, khalifah pertama. Dalam posisi ini Abu Barkah mempopulerkan hadis di atas karena ia berpihak kepada Ali.

Hal ini bermula dari kekalahan yang dialami A’isyah dalam Perang Jamal. Sekitar 13.000 pendukung meninggal di medan perang. Sebagai pemenang, Ali mengambil alih kota Basrah dan bagi yang tidak bergabung dengan kelompok Ali harus mencari alasan yang dapat diterima jika ingin tetap tinggal di Basrah. Di sisi lain pihak A’isyah mencoba menggalang kekuatan baru dengan menghubungi para sahabat yang ada di Basrah, salah satunya adalah sahabat Abu Bakrah. Banyak sahabat yang dihubungi A’isyah akhirnya menolak ajakan tersebut. Alasan mereka, perang antar umat Islam hanya akan memecah belah umat dan menjadikan mereka saling bermusuhan. Namun, alasan penolakan Abu Bakrah lain. Abu Bakrah menolak ajakan A’isyah dengan menyebutkan sabda Nabi tersebut.

Menurut Fatima Mernissi, penyampaian Abu Bakrah bersamaan dengan kondisi kritis A’isyah memiliki muatan politis yang signifikan. Dengan kata lain hadis ini menadi alat untuk mengambil hati pihak penguasa. Padahal Mernissi membuktika secara empiris bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk memimpin. Para pemimpin ini dihimpun Mernissi dalam bukunya The Forgotten Queens of Islam (Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan). Disinilah paradoksal hadis, yaitu keputusan antara muatan nilai dengan praksisnya apabila dipahami secara tekstual. Menurut Asghar Ali Engineer, hadis ini tidak dipahami secara kontekstual dan bertentangan dengan fakta sosial. Fakta tersebut dapat dilihat dari berkuasanya Benazir Bhutto di Pakistan, Ratu Saba pada zaman Nabi Sulaiman dalam Al-Qur’an.

Sejarah dunia mencatat, pergantian Raja Kisra oleh anak perempuannya mengandung persoalan mendasar. Anak perempuan Kisra tidak memiliki kemampuan untuk memimpin. Namun, demi menjaga nasab keluarga, anak perempuan Kisra dipaksa untuk menjadi ratu di negeri Persia yang luas itu. Apabila Rasulullah menyampaikan hadis dalam soal ini, maka yang dilarang bukan karena jenis kelaminnya, tetapi karena kemampuan memimpin yang tidak dimilikinya. Siapapun, baik laki-laki atau perempuan, yang diserahi tugas yang bukan ahlinya niscaya akan mendapati kehancuran.

Menurut Gus Dur, untuk mengkaji dan memahami sebuah hadis, mutlak diperlukaninformasi yang memadai mengenai latar belakang kejadian yang melingkupi teks hadis tersebut.[3] Jauh pada masa sebelum hadis tersebut muncul, yaitu saat Rsulullah SAW berdakwah ke berbagai daerah, ia pernah berkirim surat kepada para pembesar negeri lain untuk memeluk Islam. Diantaranya adalah kepada Raja Kisra di Persia. Setelah menerima surat itu, Kisra merobek-robek surat Rasulullah tersebut. Rasulullah begitu menerima laporan dari Hudzaifah bahwa suratnya dirobek-robek, bersabda : “Siapa saja yang merobek-robek surat saya, diri dan kerajaan orang itu akan di robek-robek,” (HR. Ibn Musayab). Tak lama kemudian, Persia dilanda kekacauan dab berbagai pembunuhan di dalam keluarga kerajaan akibat suksesi kepemimpinan. Diangkatlah puteri Buwaran binti Syairawaih ibn Kisra sebagai Ratu menggantikan ayahnya yang meninggal dan saudara laki-lakinya yang terbunuh. Sementara tradisi masyarakat Persia pada waktu itu, jabatan sebagai kepala negara atau raja selalu dipegang kaum laki-laki, dan perempuan sama sekali tidak diizinkan  untuk turut serta mengurus kepentingan masyarakat umum. Jadi, bagaimana mungkin Putri Buwaran bisa sukses menjadi pemimpin bila keadaan tradisi masyarakatnya seperti itu?

Pada dasarnya, sukses atau tidaknya kepemimpinan perempuan, bukanlah karena kemampuan perempuan ‘separo’ laki-laki, melainkan tergantung penerimaan mayoritas laki-laki dalam kepemimpinannya itu.[4]

Kemudian dalam hadis ini aspek sanad tidak mendapat sorotan para feminis, kecuali kepribadian Abu Bakrah. Abu Bakrah menjadi satu-satunya awal sanad yang meriwayatkan langsung dari Nabi Muhammad saw. Dengan wazan qala. Dengan demikian, hadis ini termasuk hadis ahad. Nama Abu Bakrah merupakan gelar yang diberikan Nabi Muhammad kepadanya. Gelar ini diberikan ketika dia masuk Islam bertepatan dengan pengepungan Taif di daerah Bakrah. Sedangkan nama Abu Bakrah sebelum masuk Islam tersebut ada beberapa versi, di antaranya Nufai’ bin al-Haris bin al-Kaladah, dan Nufai’ bin Masruh, namun kebanyakan orang memanggilnya Abu Bakrah Nufai’ bin al-Haris.

Sebelum memeluk agama Islam, Abu Bakrah menjalani kehidupan yang keras dan hina sebagai seorang budak di kota Taif. Abu Bakrah telah lahir sebelum risalah Islam sehingga dia termasuk salah seorang sahabat yang sulit dilacak garis keturunannya. Masuknya Abu Bakrah  ke dalam Islam bukan saja telah menyelamatkan dirinya dari hinaan sebagai budak, tetapi juga menyejajarkan dirinya dengan orang-orang muslim yang lain. Kebanggan ini tercermin dari perkataan yang sering dilontarkan ke sekelilingnya, “Saya adalah saudara seagamamu.” Bahkan, Islam telah menjadikan dirinya sebagai pemuka terhormat di kota Basrah sepanjang hidupnya. Dia dikenal faqih dan saleh serta seutama-utama sahabat.

Menurut Fatima Mernissi, latar belakang seperti ini menjadikan Abu Bakrah memusuhi setiap perang saudara yang bisa merusak berdirinya masyarakat Islam. Hal ini menjadi alasan penting kenapa Abu Bakrah menolak ajakan ‘Aisyah untuk mendukungnya dalam Perang Jamal dan disampaikan hadis ini. Perang saudara hanya menjadikan dirinya kembali ke masa-masa sebelum memeluk Islam. Dan secara politis, perang dapat memupus kesempatannya untuk menjadi penduduk Basrah yang terhormat.

Dalam biografinya, Abu Bakrah pernah dihukum cambuk oleh  Khalifah Umar bin Khathab karena memberi kesaksian bersama ‘Nafi dan Syibl bin ‘Ma’bad bahwa al-Mugirah telah melakukan zina. Tuduhan tersebut tidak disertai bukti yang kuat. Karenanya, ‘Nafi dan Sibl meminta maaf. Adapun Abu Bakrah bersikeras dengan tuduhannya dan enggan meminta maaf. Keteguhan Abu Bakrah dengan tuduhannya selalu diekspresikan dengan perkataan : “Sungguh mereka telah mendustakanku.” Abu Bakrah wafat pada tahun 51 H dan ada yang mengatakan pada tahun 52 H.

Dengan mengacu kepada criteria Imam Malik dalam kritik sanad hadis, Fatima Mernissi meragukan validitas Abu Bakrah. Imam Malik mengatakan :
Pengetahuan tidak bisa diterima dari seseorang yang terbelakang mental, orang yang berada dalam cengkraman nafsu dan yang pernah melakukan bid’ah serta seorang pembohong yang menceritakan segala sesuatu kepada orang lain. Akhirnya, seseorang tidak boleh menerima pengetahuan dari seorang Syekh, meskipun dia terhormat dan shaleh, jika dia tidak menguasai ajaran yang hendak dia sampaikan.[5]

Pemimpin Perempuan dalam Sejarah
Fakta sejarah membuktikan bahwa di Indonesia masa lalu, perempuan Indonesia juga berkesempatan dan berpeluang memegang jabatan kekuasaan sebagai kepala Negara, dan berperan aktif dalam berbagai aspek sosial kemasyarakatan, baik sosial, ekonomi, sosial budaya, maupun politik. Bahkan memanggul senjata dalam bidang militer tanpa harus meninggalkan perannya di ruang domestic. Sumber tertua yang bisa diperoleh dari sejarah Indonesia adalah[6] :
Di Jawa Timur, kerajaan Majapahit pernah diperintah oleh Ratu selama 22 tahun, yaitu ketika Raja Jayanegara meninggal pada tahun 1328, karena tidak dikaruniai seorang anak pun, maka raja mengangkat adik perempuannya untuk menggantikan kedudukannya. Dialah yang dikenal dengan Ratu Tribuana Tunggadewi Jaya Wisnu Wardani. Setelah memerintah 22 tahun, yaitu pada tahun 1350, ia mengundurkan diri dan digantikan oleh puteranya Hayam Wuruk.

Pada masa perkembangan Islam, di Jawa juga terkenal seorang pemimpin perempuan yang berkuasa di wilayah Jepara, tepatnya di Kalinyamat, daerah kekuasaan kesultanan Demak. Ialah Ratu Kalinyamat, Ratu Kalinyamat adalah salah satu puteri Sultan Trenggono, Sultan Demak, yang memerintah pada 1504-1546 M. pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, Jepara diceritakan sebagai negeri yang sangat aman, makmur, adil, dan rakyatnya hidup sejahtera.[7]

Di Sumatera, tepatnya di Aceh, perempuan cukup banyak berperan di ruang publik atau yang dianggap sebagai dunianya kaum laki-laki. Salah satunya Cut Nyak Dien yang turut andil dalam peperangan melawan Belanda, kemudian ada juga Pocut Baren, Cut Nyak Meutia, juga Pocut Baren yang selalu mendampingi Cut Nyak Dien. Kemudian kerajaan Aceh memiliki armada laut sekitar 100 kapal perang dan salah satu komandannya adalah seorang perempuan dan berpangkat Admiral, beliau ialah Laksamana Keumala Hayati, beliau mencatat prestasi yang gemilang, pada tahun 1599 ia berhasil mengalahkan dua buah kapal Belanda yang dipimpin Cornelis dan Fredirick de Houtman. Di Sulawesi Selatan, kerajaan Islam Abad XIX ini, juga pernah dipimpin oleh seorang penguasa perempuan, yaitu Siti Aisyah We Tenriolle yang berkuasa di Kerajaan Ternate pada tahun 1856, bahkan menguasai kerajaan Bugis.

Dari fakta-fakta sejarah tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dasarnya perempuan dan laki-laki adalah sama. Yaitu sama-sama memiliki potensi dan kecerdasan, keinginan, dan cita-cita, impian, dan harapan, juga rasa khawatir, dan kecemasan. Dengan kecerdasan ilmu pengetahuan yang diperoleh perempuan, dia tidak hanya mampu berperan sebagai ibu dari anak-anak atau istri yang hanya berkutat di ranah domestik. Akan tetapi, mereka juga mempunyai potensi dan dituntut untuk terus dikembangkan.

Kepemimpinan menurut Teoti Heraty Noerhadi, berarti memperoleh atau mencapai keunggulan sebagai individu dalam masyarakat atau wilayah yang disebut publik. Kepemimpinan bisa juga berarti kompetensi dan hirarki, dan juga berkaitan dengan masalah kekuasaan dan tanggung jawab. Jadi, kepemimpinan yang baik adalah yang punya kemampuan untuk mengambil keputusan dengan adil dan bijaksana, tanpa memandang jenis kelamin, entah itu laki-laku ataupun perempuan.

 Kesimpulan
Dengan demikian, dari penjelasan yang telah dipaparkan dan diuraikan di atas, penulis dapat menyimpulkan yang pertama, bahwa hadis tersebut disampaikan Abu Bakrah dalam konteks yang menguntungkan Abu Bakrah secara politis. Yang kedua, kepribadian Abu Bakrah dipertanyakan terutama berhubungan dengan kasus persaksian palsu. Ketiga, hadis tersebut telah dipahami secara patriarkal tanpa melihat konteks kesejarahan kerajaan Persia pada saat itu.
Padahal dalam memahami suatu hadis harus melihat asal-usul kejadian atau sejarah munculnya hadis tersebut, ketika dalam konteks yang berbeda setidaknya hadis itu ditafsir ulang dan disesuaikan dengan konteks yang sekarang. Karena pada konteks kekinian banyak perempuan yang mampu memimpin. Kepemimpinan itu dilihat kemampuan yang dimiliki, tanpa melihat jenis kelamin. Bahkan, Imam Al-Ghazali pernah berbicara mengenai hal ini:
“Masalah memberi ketetapan hukum bukanlah masalah milik laki-laki dan perempuan, tetapi masalahnya adalah masalah kemampuan yang timbul dari dalam diri atau dengan pembelajaran ilmiyah. Sebab seringkali kaum wanita mempunyai kemampuan lebih dari kaum laki-laki.”
Wallahu‘alam bisshowwab

Referensi :
Hadi, Murtadho. 2010. Ratu Kalinyamat. LKiS Pustaka Sastra : Yogyakarta
Ibad, M. N. 2011. Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek. LKiS Pustaka Pesantren : Yogyakarta
Kadarusman. 2005. Agama, Relasi Gender & Feminisme. Kreasi Wacana : Yogyakarta
Subhan, Zaitunah. 2006. PEREMPUAN dan Politik Dalam Islam. LKiS Pelangi Aksara : Yogyakarta
Umar, Nasaruddin. 2010. Fikih Wanita untuk Semua. Serambi Ilmu Semesta : Jakarta


* Tulisan ini penulis persembahkan kepada yang terhormat Ibu Hj. Umayah, M. A selaku Dosen mata kuliah Ulumul Hadis, diajukan untuk memenuhi tugas mandiri pada mata kuliah Ulumul Hadis. Penulis adalah mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon Fakultas Tarbiyah Jurusan IPS B Semester III


[1] Lihat pula penjelasan Nasaruddin Umar dalam bukunya “Fikih Wanita” tentang Pemimpin Perempuan. Hal 178
[2] Baca juga buku Kadarusman “Agama, Relasi Gender & Feminisme”. Hal. 94
[3] Baca juga bukunya M. N. Ibad yang berjudul “Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur & Gus Miek” Tentang Kepemimpinan Perempuan. Hal. 85
[4] Ibid. hal 87
[5] Baca lebih lanjut pada bukunya Kadarusman, M. Ag yang berjudul “Agama, Relasi Gender dan Feminisme”. Hal 98
[6] Baca lebih jelas dalam bukunya Hj. Zaitunah Subhan yang berjudul “Perepuan dan Politik Dalam Islam”. Hal 9
[7] Lebih jelasnya baca novelnya Murtadho Hadi yang berjudul “Ratu Kalinyamat”. Hal IV

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Menggapai Impian

R esensi B uku M enggapai I mpian Oleh: Asep Rizky Padhilah A.     IDENTITAS BUKU       a.        Judul buku                  : Menggapai Impian.       b.       Penulis                         : Masriyah Amva.       c.        Penerbit                       : Kompas.       d.       Cetakan                       : September 2010.       e.        Tebal Halaman            : 288 halaman.       f.        Jenis cover                   : Soft cover.       g.       Dimensi (PxL)             : 140x210mm.       h.       Kategori                      : Islam.        i.         Teks bahasa                 : Indonesia. B.      Biografi Pengarang. HJ. MASRIYAH AMVA, lahir pada 13 Oktober 1961 di sebuah kampong pesantren di Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Semasa kecil ia dididik langsung oleh ayah-ibunya, KH. Amrin Hannan dan Hj. Fariatul’Aini yang sehari-hari menjadi pengasuh utama pesantren mereka. Kedua kakeknya, K.H. Amin dan K.H.

Pengamatan di Keraton Kacirebonan

PEMBAHASAN A.     Sejarah Keraton Kacirebonan. Keraton Kacirebonan menurut sumber catatan sejarah Keraton, didirikan oleh Pangeran Raja Kanoman pada tanggal 13 Maret 1808. Pangeran Raja Kanoman adalah seorang putera dari Sultan Kanoman ke IV yang bergelar Amirul Mu’minin Sultan Muhammad Khairuddin.   Pernikahan Pengeran Raja Kanoman dengan permaisurinya yang bernama Ratu Sultan Gusti Lasminingpuri mempunyai seorang putera yang bernama Pangeran Raja Hidayat beserta keturunannya meneruskan tradisi Keraton Kacirebonan secara turun temurun sampai sekarang. Pada tahun 2008 Keraton Kacirebonan genap berusia 200 (Dua ratus) tahun. Berdirinya Keraton Kacirebonan berawal dari perlwanan Pangeran Raja Kanoman terhadap Penjajah Belanda, sehingga beliau di buang ke Ambon dan kehilangan hak-haknya sebagai seorang putera sultan. Di buangnya Pangeran Raja Kanoman ke Ambon ternyata tidak menyurutkan api perlawanan para pengikut setianya di Cirebon, yang menuntut di pulangkannya kembali Pangeran Raja

Gadis Kerudung Putih

Gadis Kerudung Putih Oleh : Asep Rizky Padhilah Ilustrasi Baju putih garis-garis dan jilbab putih yang ia pakai selalu mengingatkanku kepadanya, begitu menawan dan anggun ^,^. Dan kerudung coklat menutupi rambutnya yang membuatku pantang tuk melupakannya ketika ia pertama kalinya menjengukku ketika ku sakit dalam kesendirian dirumah. Ia lah wanita pertama yang kuberi sebuah penghargaan terbesar dalam hidupku. :) Sungguh begitu nyaman ku didekatnya, saat itu ku duduk disampingnya tanpa mengucapkan sepatah katapun, hanya senyuman kecil yang ia layangkan. Senyuman itulah yang selalu ku ingat. Sungguh tiada duanya, bagaikan suatu keindahan dunia yang menakjubkan. :). Saat itu ibaratkan rasa sakit yang kurasakan telah terobati oleh seorang suster cantik yang turun dari langit ke tujuh. Apalagi ketika ku tertidur dipangkuannya. Ingin rasanya ku mengulang kejadian itu. Aku merasakan suatu percikan kecil yang aneh dalam diriku, yang membuat hatiku berdetak tidak seperti biasanya. Kuketahu