Langsung ke konten utama

Kita untuk Indonesia: Refleksi Hari Pahlawan

Kita untuk Indonesia: Refleksi Hari Pahlawan
Oleh: Asep Rizky Padhilah*

“Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun. Bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu, sungguh negerimu ini adalah dari penggalan surga, surga seakan-akan pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya, dan keindahannya adalah bernama Indonesia Raya.” (Emha Ainun Nadjib)

Lagi, Bangsa Indonesia merayakan hari besarnya, yakni peringatan 10 November. Hari yang dikenal dengan Hari Pahlawan. Peristiwa yang bersejarah bagi Bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dengan bertarung melawan penjajah Inggris. Bung Tomo, salah satu pahlawan revolusioner yang sangat menggebu-gebu membangkitkan semangat seluruh rakyat Indonesia, menyadarkan pandangan bahwa ‘sekali merdeka, tetap merdeka’. Beliau juga mengatakan bahwa “lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka, semboyak kita tetap: Merdeka atau mati !”.
Dari kalangan Kiyai, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah, menggerakan santri-santrinya (juga) untuk melawan penjajah Inggris, bahwa melawan penjajah untuk mempertahankan NKRI adalah fardu ‘ain hukumnya, dan siapa saja yang gugur dalam pertempuran melawan penjajah mereka akan mati syahid.
Berjuta-juta nyawa yang telah dipersembahkan untuk merebut kemerdekaan, dan berjuta-juta nyawa pula yang dikorbankan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebenarnya, tulisan ini tidak bermaksud untuk menenggelamkan kita kedalam romantisme historis, namun karena memang sejarah yang bersejarah ini sudah seharusnya kita refleksikan untuk ditelaah, diteliti dan kemudian kita teladani. Begitu besarnya jasa pahlawan kita untuk mempertakankan kemerdekaan dengan dibayar oleh (jutaan) nyawa.
Kini sejarah itu sudah menjauh, namun tak menghilang. Diberbagai penjuru Indonesia merayakan peringatan 10 November, namun kebanyakan hanya sekadar mengadakan peringatan seremonial belaka: menyanyikan lagu Indonesia Raya, mengheningkan cipta, serta pidato-pidato kebangsaan. Setelah itu kembali pada rutinitas biasanya. Sepertinya Ibu Pertiwi menangis melihat keadaan Indonesia yang seperti ini, sudah berapa aset Indonesia yang ‘kecolongan’ oleh bangsa lain, sudah berapa ton tambang emas yang bangsa lain keruk dengan begitu mudahnya di tanah Indonesia, bahkan beberapa sumber daya alam Indonesia yang sudah diklaim secara pribadi oleh pemilik modal, warga Indonesia sendiri. Antar pulau di Indonesia banyak yang sudah tidak bergandeng mersa lagi, kasus-kasus primordial sudah dianggap lumrah. Belum lagi kasus-kasus yang selalu ditayangkan diberbagai media (cetak dan elektronik), masalah pendidikan, korupsi, kemiskinan, kekerasan atas nama agama, dan masih banyak lagi, sulit jika disebutkan satu per satu karena begitu kompleks permasalahan yang sudah akut.
Kini, disini, kita harus berbuat apa dan bagaimana untuk mempertanggungjawabkan semua ini pada Ibu Pertiwi? (Si)apa yang harus dipersalahkan? Apakah kita harus membangkitkan dari kubur pahlawan terdahulu untuk memperbaiki Indonesia saat ini? Sebenarnya saat ini yang menjadi pahlawan Indonesia adalah kita semua – rakyat Indonesia. Soekarno pernah berkata bahwa “Tugasku sebenarnya lebih ringan, hanya sekadar mengusir penjajah. Namun tugasmu lebih berat, karena melawan bangsa sendiri.” Pahlawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dl membela kebenaran; pejuang yang gagah berani;.  Sepertinya makna pahlawan diatas tersebut terlalu sempit, tapi memang definisi adalah untuk menyempikan makna, tapi tak apa. Seperti yang ditulis Fiersa Besari (penyanyi) dalam facebook-nya, mengungkapkan bahwa “Kita semua adalah pahlawan untuk apa yang mereka perjuangkan, hanya beda skala dan sudut pandangnya.” Kita adalah salah satu unsur dari sebuah Negara, yakni masyarakat. Kita mempunyai peran penting dalam membangun peradaban bangsa yang lebih baik. Indonesia adalah Negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa. Kita dapat tanam benih-benih kesejahteraan apa saja diatas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan. Tapi sayangnya kita tidak pernah bersyukur atas apa yang telah diberikan Tuhan untuk Indonesia. Kita malah melakukan cocok tanam ketidakadilan dan panen-panen kerakusan.
Sudah saatnya dimulai dari diri kita (masing-masing) untuk mebenahi karakter dan menmbuhkan kesadaran kita, untuk kembali mengenakan ‘baju khas’ Indonesia yang saling gotong royong, toleransi, bekerja keras, memiliki keuletan, ketangguhan dan jiwa yang pantang menyerah dalam melakukan apapun untuk Tanah Air Indonesia. Sudah saatnya kita melebarkan sayap dengan gagah berani untuk mengejar bangsa-bangsa lain yang telah maju dalam berbagai hal: pendidikan, ekonomi, hukum, sosial, budaya, politik, dll. Sudah saatnya kita bangun dari tidur panjang bertahun-tahun untuk menyembuhkan Indonesia yang sedang ‘sakit’ parah. Memang, tidak semua yang kita hadapi dapat kita rubah, tapi tidak ada hal yang dapat berubah sebelum kita menghadapinya. Kita sebagai makhluk sempurna yang dianugerahi akal, pikiran, dan perasaan oleh Tuhan Yang Maha Esa, hal tersebut sudah seharusnya kita gunakan dengan semaksimal mungkin dalam membentuk sebuah integrasi bangsa yang erat serta mengubah tatanan Indonesia yang lebih baik, dengan melakukan apa saja yang positif, sebagai bukti untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan dari pahlawan kita terdahulu. Prestasi tersebut merupakan sebuah proses panjang yang harus dilalui, perlu sebuah pengorban dalam pencapaiannya. Jika hal tersebut secara istiqomah dilakukan, cepat atau lambat dan perlahan tapi pasti perubahan akan terjadi pada kehidupan kita – Indonesia.
Berbuatlah sebaik-baiknya, raihlah prestasi sebanyak-banyaklah, lalu persembahkan itu semua untuk Ibu Pertiwi – Indonesia. Akankah ada kemungkinan Indonesia merangkak naik ke bumi dari jurang yang teramat curam dan dalam? Atau akan bertambrakan lagi antara satu sama lain, jarah menjarah dengan pengorbanan yang tidak terkirakan? Akankah  sakit Indonesia benar-benar sembuh? Hanya diri kita (masing-masing) yang dapat menjawabnya. Tapi sudah saatnya kita mengatakan: “mari bung rebut kembali”.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Selamat Hari Pahlawan. Waalhu’alam bissawab.


*Penulis adalah aktivis PMII Komisariat IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua Umum HIMASOS IAIN Syekh Nurjati Cirebon

diterbitkan oleh Media Harian Radar Cirebon pada tanggal 10 November 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Menggapai Impian

R esensi B uku M enggapai I mpian Oleh: Asep Rizky Padhilah A.     IDENTITAS BUKU       a.        Judul buku                  : Menggapai Impian.       b.       Penulis                         : Masriyah Amva.       c.        Penerbit                       : Kompas.       d.       Cetakan                       : September 2010.       e.        Tebal Halaman            : 288 halaman.       f.        Jenis cover                   : Soft cover.       g.       Dimensi (PxL)             : 140x210mm.       h.       Kategori                      : Islam.        i.         Teks bahasa                 : Indonesia. B.      Biografi Pengarang. HJ. MASRIYAH AMVA, lahir pada 13 Oktober 1961 di sebuah kampong pesantren di Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Semasa kecil ia dididik langsung oleh ayah-ibunya, KH. Amrin Hannan dan Hj. Fariatul’Aini yang sehari-hari menjadi pengasuh utama pesantren mereka. Kedua kakeknya, K.H. Amin dan K.H.

Pengamatan di Keraton Kacirebonan

PEMBAHASAN A.     Sejarah Keraton Kacirebonan. Keraton Kacirebonan menurut sumber catatan sejarah Keraton, didirikan oleh Pangeran Raja Kanoman pada tanggal 13 Maret 1808. Pangeran Raja Kanoman adalah seorang putera dari Sultan Kanoman ke IV yang bergelar Amirul Mu’minin Sultan Muhammad Khairuddin.   Pernikahan Pengeran Raja Kanoman dengan permaisurinya yang bernama Ratu Sultan Gusti Lasminingpuri mempunyai seorang putera yang bernama Pangeran Raja Hidayat beserta keturunannya meneruskan tradisi Keraton Kacirebonan secara turun temurun sampai sekarang. Pada tahun 2008 Keraton Kacirebonan genap berusia 200 (Dua ratus) tahun. Berdirinya Keraton Kacirebonan berawal dari perlwanan Pangeran Raja Kanoman terhadap Penjajah Belanda, sehingga beliau di buang ke Ambon dan kehilangan hak-haknya sebagai seorang putera sultan. Di buangnya Pangeran Raja Kanoman ke Ambon ternyata tidak menyurutkan api perlawanan para pengikut setianya di Cirebon, yang menuntut di pulangkannya kembali Pangeran Raja

Gadis Kerudung Putih

Gadis Kerudung Putih Oleh : Asep Rizky Padhilah Ilustrasi Baju putih garis-garis dan jilbab putih yang ia pakai selalu mengingatkanku kepadanya, begitu menawan dan anggun ^,^. Dan kerudung coklat menutupi rambutnya yang membuatku pantang tuk melupakannya ketika ia pertama kalinya menjengukku ketika ku sakit dalam kesendirian dirumah. Ia lah wanita pertama yang kuberi sebuah penghargaan terbesar dalam hidupku. :) Sungguh begitu nyaman ku didekatnya, saat itu ku duduk disampingnya tanpa mengucapkan sepatah katapun, hanya senyuman kecil yang ia layangkan. Senyuman itulah yang selalu ku ingat. Sungguh tiada duanya, bagaikan suatu keindahan dunia yang menakjubkan. :). Saat itu ibaratkan rasa sakit yang kurasakan telah terobati oleh seorang suster cantik yang turun dari langit ke tujuh. Apalagi ketika ku tertidur dipangkuannya. Ingin rasanya ku mengulang kejadian itu. Aku merasakan suatu percikan kecil yang aneh dalam diriku, yang membuat hatiku berdetak tidak seperti biasanya. Kuketahu