Langsung ke konten utama

Refleksi Hari Ibu ; dari Sejarah sampai Kebangkitan Perempuan, menuju Pelangi Kesetaraan




Refleksi Hari Ibu ; dari Sejarah sampai Kebangkitan Perempuan, menuju Pelangi Kesetaraan
Oleh : Asep Rizky Padhilah1


Mungkin sebagian orang tahu bahwa di bulan Desember ini ada hari Peringatan Nasional yang di namai dengan sebutan Hari Ibu. Kemudian timbul pertanyaan, sebenarnya apakah Hari Ibu itu? Banyak mahasiswa atau sebagian orang berpendapat bahwa hari ibu adalah hari untuk memperingati ibu yang telah melahirkan kita, mungkin ada sebutan lain dengan berbagai bahasa (mimi, mbok, bunda, umi, mamah, emak). Sehingga diluar sana banyak yang memperingati hari ibu dengan mengadakan berbagai lomba, lomba memasak, mencuci baju, dan lomba-lomba domestik lainnya. Disisi lain juga ada pula yang memperingati hari ibu-nya dengan dibebastugaskan dari kegiatan memasak, mencuci, menyapu, menyetrika, dan pekerjaan rumah lainnya yang karena ketimpangan jender menjadi tanggung jawabnya. Banyak berbagai perspektif dan cara pandang tentang memaknai dan memperingati hari ibu. Lalu apakah hari ibu itu?
Sejarah Singkat Hari Ibu.
Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama kalinya pada 22 - 25 Desember 1928 di gedung Dalem Jayadipuran, Jogakarta. Kongres tersebut dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra. Beberapa tokoh perempuan yang menjadi pelopor pada saat itu adalah Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Dhien, Tjoet Nyak Meutia, R.A. Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said, dan lain-lain. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal dengan sebagai Kongres Wanita Indonesia (Konawi). Isu yang pada saat itu diperjuangkan adalah persatuan kaum perempuan Nusantara, perlibatan perempuan dalam perjuangan melawan penjajah, pelibatan perempuan dalam pembangunan bangsa, mencegah perdagangan anak-anak dan perempuan, mencegah pernikahan dini bagi perempuan, dan sebagainya. Selanjutnya, kongres perempuan kedua pada tahun 1935 diselenggarakan di Jakarta, hasil kongres itu adalah untuk memperhatikan kaum buruh perempuan, dan pada kongres itu pula menetapkan fungsi utama Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa, yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi baru yang lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya.
Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan ketiga pada tahun 1938, pada kongres tersebut membahas mengenai kedudukan dan peran perempuan, serta perbaikan nasib perempuan. Kemudian perayaan Hari Ibu ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini. Maka mulailah Indonesia merayakannya secara nasional. Banyak kegiatan positif yang dilakukan kaum ibu pada perayaan ini, misalnya peringatan 25 tahun Hari Ibu dirayakan dengan membuat pasar amal yang hasilnya untuk membiayai Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa untuk anak-anak perempuan. Pada waktu itu panitia Hari Ibu Solo juga mengadakan rapat umum yang mengeluarkan resolusi meminta pemerintah melakukan pengendalian harga, khususnya bahan-bahan makanan pokok.
Namun kini peringatan Hari Ibu mengalami pergeseran makna, dimana ibu diberi kado, dibebastugaskan dari kerjaan domestik, menggagas acara masak-memasak, lomba pakai kebaya, dan selebrasi-selebrasi lain yang tidak ada pengaruh besarnya bagi kemajuan ibu-ibu di nusantara terkecuali sebagai hiburan semata.
Yah, begitulah memang jika kita melupakan sejarah, atau bisa disebut Amnesia Sejarah. Kita lupa pada makna sejati Hari Ibu. Dan tampaknya memang sengaja dilupakan di tengah budaya patriarki yang masih mewabah pada pemikiran perempuannya itu sendiri. Peringatan Hari Ibu kini sudah beralih makna sebagai Mother’s Day yang diperingati oleh Negara-negara Eropa dan Timur Tengah yang mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronos, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani Kuno. Maka di Negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret.
Tapi tak ada kata terlambat, mumpung ini hari ibu, kita bisa mengubah paradigma kita dalam memperingatinya, tidak hanya sekedar menyuguhkan coklat, kado, dan makanan dan minuman kepada ibu kita. Mungkin dengan kegiatan-kegiatan yang lebih progresif bagaimana kaum ibu bisa menilai dan mau peduli terhadap persoalan dan isu-isu tentang perempuan, seperti kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi, poligami, pelecehan seksual yang berada dilingkungannya. Bahkan lebih hebatnya lagi jika perempuan mampu mengawasi tingkah laku petinggi-petinggi negeri kita yang masih senang korupsi, mangkir kerja, berbohong, dlsb.
Hari Ibu sebagai Kebangkitan Perempuan Indonesia
“Wanita merupakan tiang negara, bila baik wanitanya maka negara akan baik begitu pula sebaliknya. Jelas bukan urusan domestik rumah tangga saja yang bisa mereka perankan dengan baik, bahkan Laksamana Malahayati2 menjadi wanita yang turun kemedan perang melawan penjajahan dinegeri ini”.
Sudah saatnya kita merefleksikan Peringatan Hari Ibu sebagai semangat baru dalam perubahan perempuan menuju kehidupan yang lebih baik, layak dan adil. Hari Ibu ini seharusnya menjadi momentum kebangkitan perempuan untuk mendobrak diskriminasi dan merjinalisasi terhadap perempuan, agar terjalinnya hidup yang setara, adil, dan sejahtera antara laki-laki dengan perempuan. Kita dapat menemukan nama Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika sebagai sosok-sosok perempuan hebat yang memperjuangkan hak-hak wanita untuk memperoleh pendidikan yang setara. Hari Ibu memang harus diistimewakan. Agar kita disadarkan kembali akan pentingnya perjuangan kemanusiaan ini, dan hal ini pun setidaknya terus diperingati dan direfleksikan oleh para mahasiswa/i.
Mahasiswa/i merupakan kaum muda dengan segala potensi yang memiliki kesempatan dan ruang untuk berada dalam lingkungan akademis yang disebut kampus. Mahasiswa sangat dikenal dengan pemikirannya yang sangat kritis. Sepertinya juga telinga kita sering mendengar mahasiswa dijuluki dengan “Agent of Change”. Ini merupakan suatu motivasi mahasiswa terutama mahasiswi terhadap perubahan, dalam hal ini perubahan pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Namun, pada konteks kekinian tak sedikit mahasiswi yang masih cuek atau apatis terhadap hal-hal yang mengenai keadilan dan kemanusiaan, masih banyak mahasiswi yang hanya berkutat pada masalah kampus, kantin dan kosan setelah pulang kuliah, tidak mau peduli terhadap masalah-masalah mengenai perempuan : tentang pelecah seksual, diskriminasi, poligami, larangan perempuan menjadi pemimpin, kekerasan terhadap perempuan, dan lain-lain.
Perjuangan perempuan agar bebas dari segala bentuk tindak kekerasan, pelecah seksual, diskriminasi, poligami, larangan perempuan menjadi pemimpin diwujudkan dalam bentuk kesetaraan dan keadilan dalam segenap aspek kehidupan. Hal ini perlu diupayakan setiap waktu dan perlu adanya pembuktian dari perempuan itu sendiri, semakin banyak perepuan yang membuktikan tentang hal itu, maka perubahan akan bergeser dengan sendirinya. Kelanjutan perjuangan persatuan kaum perempuan Indonesia selalu di peringati pada setiap tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Hari Ibu menjadi istimewa bila kita juga memahami bahwa sebenarnya esensi perjuangan perempuan di ranah kesetaraan dan keadilan, tanpa diskriminasi. Sesunggunya Allah SWT menilai derajat seseorang dari taqwanya, entah itu laki-laki maupun perempuan, berarti antara laki-laki dan perempuan adalah sama dihadapan Allah, tanpa memandang jenis kelamin.
Sebenarnya perjuangan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya telah dilakukan sejak dulu, salah satunya seperti Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika dalam memperjuangkan hak perempuan memperoleh pendidikan yang setara. Gaung kaum wanita dalam meramaikan goresan tinta emas sejarah bisa jadi tidak berjalan sejajar dengan langkah kaum lelaki yang lebih nyaring terdengar. Namun, ketidaksetaraan ini tidak bisa diindentikkan dengan peran perempuan yang lebih kecil dalam membangun peradaban dibanding dengan peran laki-laki.
Oleh karena itu Hari Ibu lebih istimewa bila perjuangan perempuan dimaknai juga sebagai perjuangan kemanusiaan, tanpa harus menghilangkan rasa terima kasih dan mengucapkan kasih sayang terhadap ibu yang telah membesarkan kita hingga saat ini.
Karena masih banyak perempuan yang dibodohkan, dimiskinkan, dibelenggu, disiksa, dipinggirkan, dilecehkan, dihina, didzalimi, diperkosa, ditindas, diperdaya, dibungkam, direndahkan, dengan pengatasnamakan kepentingan politik, adat-istiadat, keyakinan beragama, penguasaan ekonomi, dan kesewenangan penguasa. Seharunya masalah-masalah tersebut membuat “greget” pada seluruh mahasiswa khususnya pada mahasiswi yang semestinya peka dan mau turut andil dalam memperjuangkan nilai-nilai kemunusiaan demi terwujudnya kehidupan yang damai, adil, dan sejahtera dalam pelangi kesetaraan, tanpa diskriminasi.
Wallahu‘alam bisshowwab
Ditulis Asep Rizky Padhilah sebagai kado istimewa bagi semua Ibu dan Perempuan Indonesia yang luar biasa. Selamat Hari Ibu. Selamat Berjuang Perempuan Indonesia !!!


1 Penulis adalah Mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Fakultas Tarbiyah Jurusan IPS Semester III.
2 Malahayati, adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Nama aslinya adalah Keumalahayati. Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Pada tahun 1585-1604, memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah tewas) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599  sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati. Salah satu Pelabuhan laut di Aceh dinamakan Pelabuhan Malahayati. Nama Malahayati dipakai oleh Ormas Nasional Demokrat sebagi nama divisi wanita-nya dengan nama lengkap Garda Wanita Malahayati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Menggapai Impian

R esensi B uku M enggapai I mpian Oleh: Asep Rizky Padhilah A.     IDENTITAS BUKU       a.        Judul buku                  : Menggapai Impian.       b.       Penulis                         : Masriyah Amva.       c.        Penerbit                       : Kompas.       d.       Cetakan                       : September 2010.       e.        Tebal Halaman            : 288 halaman.       f.        Jenis cover                   : Soft cover.       g.       Dimensi (PxL)             : 140x210mm.       h.       Kategori                      : Islam.        i.         Teks bahasa                 : Indonesia. B.      Biografi Pengarang. HJ. MASRIYAH AMVA, lahir pada 13 Oktober 1961 di sebuah kampong pesantren di Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Semasa kecil ia dididik langsung oleh ayah-ibunya, KH. Amrin Hannan dan Hj. Fariatul’Aini yang sehari-hari menjadi pengasuh utama pesantren mereka. Kedua kakeknya, K.H. Amin dan K.H.

Pengamatan di Keraton Kacirebonan

PEMBAHASAN A.     Sejarah Keraton Kacirebonan. Keraton Kacirebonan menurut sumber catatan sejarah Keraton, didirikan oleh Pangeran Raja Kanoman pada tanggal 13 Maret 1808. Pangeran Raja Kanoman adalah seorang putera dari Sultan Kanoman ke IV yang bergelar Amirul Mu’minin Sultan Muhammad Khairuddin.   Pernikahan Pengeran Raja Kanoman dengan permaisurinya yang bernama Ratu Sultan Gusti Lasminingpuri mempunyai seorang putera yang bernama Pangeran Raja Hidayat beserta keturunannya meneruskan tradisi Keraton Kacirebonan secara turun temurun sampai sekarang. Pada tahun 2008 Keraton Kacirebonan genap berusia 200 (Dua ratus) tahun. Berdirinya Keraton Kacirebonan berawal dari perlwanan Pangeran Raja Kanoman terhadap Penjajah Belanda, sehingga beliau di buang ke Ambon dan kehilangan hak-haknya sebagai seorang putera sultan. Di buangnya Pangeran Raja Kanoman ke Ambon ternyata tidak menyurutkan api perlawanan para pengikut setianya di Cirebon, yang menuntut di pulangkannya kembali Pangeran Raja

Gadis Kerudung Putih

Gadis Kerudung Putih Oleh : Asep Rizky Padhilah Ilustrasi Baju putih garis-garis dan jilbab putih yang ia pakai selalu mengingatkanku kepadanya, begitu menawan dan anggun ^,^. Dan kerudung coklat menutupi rambutnya yang membuatku pantang tuk melupakannya ketika ia pertama kalinya menjengukku ketika ku sakit dalam kesendirian dirumah. Ia lah wanita pertama yang kuberi sebuah penghargaan terbesar dalam hidupku. :) Sungguh begitu nyaman ku didekatnya, saat itu ku duduk disampingnya tanpa mengucapkan sepatah katapun, hanya senyuman kecil yang ia layangkan. Senyuman itulah yang selalu ku ingat. Sungguh tiada duanya, bagaikan suatu keindahan dunia yang menakjubkan. :). Saat itu ibaratkan rasa sakit yang kurasakan telah terobati oleh seorang suster cantik yang turun dari langit ke tujuh. Apalagi ketika ku tertidur dipangkuannya. Ingin rasanya ku mengulang kejadian itu. Aku merasakan suatu percikan kecil yang aneh dalam diriku, yang membuat hatiku berdetak tidak seperti biasanya. Kuketahu